Kalau Agama Buddha: Pindah Agama Tidak Apa-Apa, Karena Masih Bisa Praktik Dhamma Kok (Jangan Buang Permata Anda)

Sering kita dengar kalimat di Judul ini? Biasanya yang ngomong gini, adalah umat yang sudah jarang ke Vihara atau memang jarang ke Vihara dari dulu. “Kalau saya tetap berbuat baik, meski sudah bukan Buddhis, saya kan tetap bisa masuk alam Bahagia.” ada juga yang mungkin berkata atau berpikir seperti ini. Iya benar setelah kematian memang bisa terlahir ke alam dewa / surga, tapi di Ajaran Buddha, tujuan akhir kita itu bukan surga namun Nibbana (nah ini lebih tinggi lagi, untuk bisa mengerti ini, butuh pemahaman Dhamma yang lebih dalam).

Pernah saya dengar dalam sebuah ceramah di Vihara “Semua orang boleh mempraktikan ajaran Buddha, karena ini sifatnya Ajaran. Mau agama apa saja ya boleh belajar dan praktik Dhamma” kurang lebih demikian. Pernyataan ini bisa saya terima, karena Dhamma memang sifatnya Universal, sehingga Agama apapun yang Anda anut, sah-sah saja untuk menjalankan hidup sesuai Dhamma. Sebab Dhamma mengarah pada hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang tidak baik. Namun kata-kata tadi bisa jadi salah tafsir “Berarti kalau saya pindah agama ya gapapa dong, soalnya saya juga masih bisa praktik Dhamma”, nah ini yang saya TIDAK setuju.

Di Indonesia, negara kita mengakui Enam Agama Resmi (secara Legal). Bahkan ada kolom agama yang dicantumkan dalam kartu identitas kita (KTP). Sehingga Agama di Indonesia ini dianggap penting, yang berkenaan dengan Pancasila, Sila Pertama. Maka dari itu tiap orang harus menganut suatu Agama, tidak boleh Ateis. Nah, ketika kita sudah bukan lagi beragama Buddha (non-Buddhis), justru akan jadi ga afdol kalau kita tetap melakukan hal-hal yang sesuai dengan Dhamma utamanya berkenaan dengan Vihara. Misalnya pergi ke vihara, berdana makan di vihara, puja bakti di vihara, retret meditasi, menemui Bhante, dan lain – lain. Nanti malah jadinya enggan untuk melakukan praktik Dhamma dengan lebih mendalam. Gerak-gerik kita akan lebih terbatas karena identitas. Mungkin akan muncul omongan “loh kamu kan udah pidah jadi agama X, kok masih ke vihara?” “loh masih baca paritta? Meditasi?” dan lain-lain.

Dengan tidak lagi beragama Buddha maka jalan untuk praktik Dhamma, sebenarnya sudah mulai terTUTUP, bahkan Anda sudah menambah halangan dalam Praktik Dhamma. (Masih Buddhis saja mungkin sudah banyak alasan maupun halangan, apalagi ketika bukan Buddhis). Sewaktu masih Buddhis saja jarang praktik Dhamma, apalagi saat sudah tidak beragama Buddha. Ketika kita benar-benar memahami Dhamma, justru kita akan merasa benar-benar beruntung telah mengenal Dhamma ini, akan sangat disayangkan ketika berpindah keyakinan (RUGI).

“Indahnya Dhamma”, itu yang saya rasakan ketika benar-benar mengerti Dhamma. Saat SMA dulu banyak waktu yang saya habiskan untuk rutin meditasi, membaca sutta dan merenungkannya. Saya merasa benar-benar beruntung bisa mengenal Dhamma ini. Andai orang lain dapat mengenal dan mengerti Dhamma seperti yang saya alami ini. Itu yang saya pikirkan ketika benar-benar menyelami Dhamma ini. Dhamma itu sungguh sangat indah. (Maka dari itu saya juga membuat Blog ini dan belajar rutin menulis artikel di sini).

Memang Agama Buddha jarang sekali digembar-gemborkan, gak seaktif itu mencari umat baru (tapi memang ada juga aliran Buddha yang aktif menarik umat baru seperti itu, tapi umumnya Buddha tradisi Theravada, tidak demikian). Adapula pernah saya dengar “Agama Buddha itu ibarat permata, jadi ga perlu dipamer-pamerkan, simpan saja untuk diri sendiri”. Tidak…, tidak begitu bagi saya, bagi saya. Ketika sudah mulai belajar, dan berusaha memahami Dhamma itu, seharusnya kita juga memperkenalkan, dan menjelaskan kepada yang lain. Karena mungkin ada sebagian kecil orang yang mempunyai “sedikit debu di mata mereka”. Sehingga mereka juga bisa mengerti dan mendapatkan manfaat dari Dhamma. Merasakan indahnya Dhamma, mendapatkan permata itu.

Dhamma itu Sulit. Ini ada dalam Saṁyutta Nikāya 6.1 Permohonan Brahmā. Tak lama setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna. Suatu perenungan muncul dalam pikiranNya: “Dhamma yang Kutemukan ini adalah dalam, sulit dilihat, sulit dimengerti, damai dan luhur, di luar jangkauan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Tetapi generasi ini gembira dalam keterikatan, bersenang-senang dalam keterikatan, bersukacita dalam keterikatan. Untuk generasi demikian, kondisi ini adalah sulit dilihat, yaitu, kondisionalitas khusus, kemunculan yang bergantungan. Dan kondisi ini juga sulit dilihat, yaitu, penenangan semua bentukan, pelepasan semua perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. Jika Aku harus mengajarkan Dhamma dan jika orang lain tidak dapat memahamiKu, maka itu akan sungguh melelahkan bagiKu, sungguh menyulitkan.”

Selanjutnya syair-syair yang mengejutkan ini yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul pada Sang Bhagavā:

“Cukup sudah dengan mengajar
Apa yang Kutemukan dengan susah-payah;
Dhamma ini tidak mudah dipahami
Oleh mereka yang dikuasai oleh nafsu dan kebencian.

“Mereka yang terbakar oleh nafsu, dikaburkan oleh kegelapan,
Tidak akan pernah melihat Dhamma yang sangat mendalam ini,
Dalam, sulit dilihat, halus,
Bergerak melawan arus.”

Ibarat membuang permata yang sudah di tangan. Ini yang akan saya katakan kepada orang yang sudah mengenal Dhamma, namun belum terlalu mengerti Dhamma, tapi malah malas belajar, malas praktik. Apalagi praktik meditasi, banyak sekali orang yang kalau dengar meditasi malah ga mau ikutan, padahal kalau tidak bisa, seharusnya kita latih sampai minimal tenang (nama nya juga latihan, mana ada yang langsung bisa diawal, kecuali memang punya bekal yang banyak tadi). Dengan latihan terus, maka meski di kehidupan ini belum bisa mencapai tenang, namun tenang akan semakin dekat, jalan menuju kesucian makin dekat. Ini menjadi bekal kita di kehidupan berikutnya.

Dhamma itu sulit dipahami, namun bukan tidak bisa dipahami. Ketika belum paham, terus belajar dan praktik. Ketika sudah paham, kita akan sadar betapa beruntungnya hidup sebagai manusia yang mengenal Dhamma dan bisa mempraktikannya. Sulit tapi bernilai, karena begitu berharganya Dhamma ini, bahkan saya bertekad semoga di kehidupan berikutnya dapat mengenal kembali Ajaran Buddha. Bisa punya kesempatan praktik Dhamma dengan lebih dalam.

Bagi Anda yang berniat pindah Agama dari Buddhis, saya sarankan “Stop, hentikan niat Anda”. Silakan pelajari lagi, praktikkan lagi lebih dalam, sering merenungkan sutta, memang akan sulit hingga benar-benar paham, mungkin sampai butuh bimbingan dari Bhante/Rama/Ramani. Jangan berhenti…. Kesempatan untuk jadi manusia itu sulit, bisa mengenal Dhamma itu lebih sulit, bisa mengerti Dhamma itu jauh lebih sulit lagi. Bahkan untuk bisa mencapai kesucian apalagi, akan tambah sulit. Kita butuh bekal yang banyak. Jangan menyerah di sini, jangan buang permata Anda.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *